Mengapa perlu melibatkan Tuhan dalam perencanaan

Sermon  •  Submitted
0 ratings
· 5,751 views
Notes
Transcript

Tema :

Nats :
Amanat Kotbah :
Mengapa kita perlu selalu menyertakan Tuhan di dalam perencanaan kehidupan ini?
Pendahuluan
Sdr, hari-hari ini ada 2 ekstrem yang muncul dikarenakan Pandemic Covid-19. Apakah itu?
Perasaan kecewa karena semua yang sudah direncanakann, sekarang terpaksa dibatalkan.
Perasaan putus-asa, karena kita tidak tahu sampai berapa lama situasi ini dan bagaimana wujud kehidupan kita paska Covid-19 ini.
Akibatnya, berapa banyak dari kita yang kemudian bersikap “Que serra-serra” alias what will be.... will be. Atau sikap menunggu, lihat bagaimana nanti. Apakah sikap-sikap semacam itu merupakan sikap yang bertanggung-jawab? Jangan-jangan sikap semacam itu malah menunjukkan ketidak-sungguhan beriman kepada Tuhan.
Disini Yakobus memulai peringatan untuk mulai merencanakan kehidupan kita dengan kata “jadi” pada ayat 13? Karena sebelumnya sudah diingatkan bahwa iman harus disertai dengan perbuatan, dan merencanakan kehidupan adalah wujud dari iman orang percaya.
Siapakah penerima pertama surat Yakobus ini? Orang-orang kristen yang tersebar diperantauan karena penganiayaan. Jadi mereka adalah orang-orang Kristen seperti sdr dan saya; tetapi Yakobus melihat bagaimana dalam kehidupan sehari-hari Kristus tidak lagi menjadi dasar kehidupaan mereka (Baca: Theonomi).
Sesungguhnya membuat perencana adalah wujud atau ekpresi keberimanan kita kepada Tuhan.
Mengapa kita perlu menyertakan Tuhan di dalam perencanaan kita?
Kita tidak pernah tahu berapa lama kehidupan kita
Di dalam ayat 13 dikatakan, “Hari ini atau besok...” disini Yakobus mengingatkan tentang waktu kehidupan kita. Berapa banyak orang yang dengan sembrono mengasumsikan berapa lama dia akan hidup. Mereka adalah orang-orang yang lupa betapa rapuhnya (frailty) kehidupan manusia.
Kita berpikir bahwa kita adalah tuan dari umur dan nafas kita, tetapi sesungguhnya kehidupan kita itu begitu rapuh seperti embun pagi yang kelihatan, sebentar kemudian lenyap (ay 14b). Jangan pernah berpikir bahwa kitalah tuan atas kehidupan ini.
Amsal sudah mengingatkan kita, “Janganlah memuji diri karena esok hari, karena engkau tidak tahu apa yang akan terjadi hari itu” (Ams 27:1). Dan Yesus memberi ilustrasi yang sama dengan hal itu, yaitu tentang seorang yang kaya, mau menikmati kehidupannya tetapi pada malam itu justru nyawanya diambil (Luk 12:16-21).
Banyak orang, bahkan anak-anak Tuhan gagal memahami bahwa mereka tidak berkuasa atas kehidupan mereka sendiri, bahkan untuk menambah sehasta saja pada jalan kehidupan mereka, mereka tidak akan bisa.
Yang Yakobus tegur disini adalah self-sufficient orang-orang percaya, dan juga tentu orang-orang secara umum. Planners confess that he needs God’s favor
2. Kita tidak pernah tahu apa rencanaNya yang terbaik bagi kita
Ternyata semangat kemandirian meninggalkan Tuhan itu tidak berhenti, kemudian si pedagang itu berkata: “kami akan berangkat ke kota anu dan disana kami akan tinggal setahun...” Padahal seharusnya mereka itu berkata: “Jika Tuhan menghendakinya...” (ay 15).
Kesombongan mereka membuat mereka dengan mudah menentukan kemana mereka akan pergi, kapan akan pergi dan berapa lama mereka akan tinggal disana.
Janganlah heran, jikalau seseorang merasa dia adalah tuan atas kehidupannya, maka yang perlu dikerjakan hanya satu yaitu rencanakan dan putuskanlah. Lalu beranggapan semua pasti akan terjadi seperti yang dia rencanakan dan putuskan.
Di dalam Kisah 21 diceritakan bagaimana suatu kali Agabus datang kepada Paulus, dan menubuatkan bahwa Paulus akan diikat dan mati di Yerusalem oleh karena nama Yesus. Maka Barnabas dan murid-murid lainya mengingatkan supaya Paulus jangan ke Yerusalem; tetapi karena Paulus tidak menerima usulan itu maka mereka berkata: “Jadilah kehendak Tuhan!” (Kis 21:14).
Kita baru saja melewati masa Paskah, bagaimana ketika Yesus berada di Taman Getsemani; Yesus sudah tahu bahwa kematian untuk memikul dosa manusia sudah dekat. Di dalam doaNya, Yesus berkata: “Jikalau boleh cawan ini lalu, tetapi jikalau Aku harus meminumnya jadilah kehendakMu” (Mat 26:42).
Masalah disini bukanlah soal membuat perencanaan atau tidak, tetapi kita harus menyadari bahwa kita tidak berkuasa menentukan hasil dari perencanaan itu. Maka dengan berkata: “Jikalau Tuhan menghendaki” itu menjadi dasar kita untuk tidak bermegah jikalau hasilnya sesuai perencanaan kita; sebaliknya kita tidak terpuruk dalam kekecewaan jikalau hasilnya tidak seperti yang kita mau.
Perkataan Ben Syra, “let a man never say he will do any thing, before he says אם נוזר השם, if God will”
Sebuah perguruan tinggi di Souther Illinois, yang didirikan pada tahun 1869 menggunakan motto D.V, yaitu Deo Volente, jika Tuhan menghendaki.
Pada saat kita memulai perencanaan dengan berkata: “JIkalau Tuhan menghendaki...” maka kita dipersiapkan untuk menunggu karya Allah yang akan realisasi rencana-rencana kita, dan percayalah DIA tahu yang terbaik bagi kita.
3. Kita tidak pernah menemukan arti hidup diluar Tuhan Yesus
Ternyata jelas, si pedagang itu tidak hanya berhenti berusaha menentukan berapa lama dia akan hidup, rencana-rencana kerjanya; tetapi dia juga menentukan apa yang akan dia peroleh. Perhatikan disini, “kami akan berdagang dan mendapatkan untung” (ay 13b). Seolah-olah target akhir kehidupan adalah diri dan kenikmatan di dalamnya.
Yakobus bukan sedang mencela para pdagang yang mencari keuntungan dengan bekerja, dia juga tidak mempermasalahkan hukum pasar, apalagi menganggap sistem ekonomi dunia hari ini sebagai dosa. Tidak sama sekali. Yang Yakobus kecam adalah tidak menjadikan Allah sebagai dasar memperoleh keuntungan dan tujuan akhir keuntungan itu digunakan. Yakobus juga memperingatkan bahwa tanpa menyertakan Tuhan di dalam perencanaan, akan menghasilkan kesombongan dan melupakan Tuhan sebagai pemberi berkat.
Yakobus menegur kesombongan mereka, bagaimana mereka memegahkan diri atas apa yang mereka miliki dan akan mereka miliki (ay 16).
Kepada jemaat di Korintus, Paulus berkata: “Dan apakah yang engkau punyai, yang tidak engkau terima? Dan jika engkau memang menerimanya, mengapa engkau memegahkan diri, seolah-olah engkau tidak menerimanya?” (1 Kor 4:7b). Ini sebuah kesombongan bagaimana seseorang hidup seolah-olah mengabaikan kuasa Tuhan yang memelihara dan memberkatinya. Kesombongan semacam ini seperti merenggut posisi Tuhan Allah sebagai pencipta dan pemelihara dunia dengan segala isinya.
Planners dedicate their plans to God
Karena tanpa hal itu, maka benarlah pertanyaan Yakobus ini, “Apakah arti hidupmu?” Pertanyaan yang selalu kita harus ajukan adalah apakah yang selalu kita banggakan? Dalam Roma 5:2, Paulus mengijinkan kita “sombong” atau bermegah, tetapi bukan kepada keberhasilan kita tetapi “kita bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah”
Related Media
See more
Related Sermons
See more